Jumat, 14 Januari 2011

Merintis Kemerdekaan melalui Sekolah Rakyat

Merintis Kemerdekaan melalui Sekolah Rakyat[1]

Oleh : Muhtar Said SH[2]



Dunia pendidikan memang selalu menjadi perbincangan masyarakat, pendidikan dianggap bisa membantu seseorang dalam meraih kesejahteraan. Dasar itulah yang kemudian menjadi acuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka rela jual harta benda untuk biaya masuk sekolah favorit, memaksakan anaknya untuk menekuni bidang khusus yang tidak disukai oleh anak karena orang tua beranggapan bidang khusus yang dipilihnya dirasa bisa menjamin untuk merubah nasib.

Perubahan nasib yang menjadi alasan masyarakat untuk sekolah dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan untuk berlomba-lomba membeli fasilitas mahal, semua itu dijadikan jincu penghias agar masyarakat tertarik dan berbondong-bondong memberikan uangnya kepada sekolah (banyak yang daftar). Sekolah tempat mencari ilmu diubah menjadi alat mencari keuntungan, sekolah juga menjadi simbol diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Memang sekolah yang mahal itu kebanyakan memunculkan lulusan yang cerdas otak.

Sesungguhnya bukan hanya kecerdasan otak saja yang di inginkan oleh bangsa ini tetapi juga bisa menghargai sesama bangsa. Sekolah government mengajarkan kebersihan pada murid-murid namun tidak pernah diajarkan bahwa kaum kromo(miskin) itu juga mengerti tentang kebersihan sehingga murid-murid mempunyai pikiran bahwa kaum kromo adalah kotor.[3]seolah-olah yang mengerti kotor, dampak dari lingkungan kotor hanya mereka sendiri. Padahal kaum kromo itu terjebak pada kekumuhan diakibatkan karena sistem kapitalisme yang tidak memihak pada mereka, pernyataan kaum kromo itu identik atau suka dengan hal-hal yang kotor itu tidak benar karena mereka juga mengerti bahwa kotor itu tidak baik.

Pendidikan seperti itulah yang dikritik oleh Tan Malaka, karena hanya melahirkn lulusan yang cerdas otak saja, menganggap kerja yang bukan menggunakan otak itu hina seperti: petani, buruh dan pekerjaan kasar lainnya termasuk Pedagang Lima (PKL). Mereka jijik , menganggap sampah dan tidak mau bergaul terhdap pekerja kasar. Sesungguhnya pemikiran tersebut adalah penghinaan terhadap bangsa sendiri karena bangsa Indonesia kebanyakan dulu adalah pekerja kasar.

Para lulusan sekolah governement adalah lulusan yang tidak mempunyai akal yang membumi, memperbaiki dirinya sendiri. Sesungguhnya ilmu tidak boleh untuk diri sendiri. Orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusiaan.[4] Pendidikan saat itu tidak ditanami dengan perasaan pembebasan atau sifat merdeka. Bahkan sampai saat ini dunia pendidikan kita banyak yang belum ditanami dengan benih-benih kemerdakan, diajarkan untuk menjadi buruh kapitalis (misalnya SMK, mengajarkan murid untuk menjadi buruh :membuat paku, jadi sekretaris dll ). Kekurangan dalam dunia pendidikan saat itu di siasati oleh Tan Malaka saat ia masih aktif di Serikat Islam (SI). Tan Malaka menggunakan bendera SI untuk mendirikan sekolah yang berbasis kerakyatan, menanamkan jiwa kemerdekaan dan mengembangkan potensi-potensi anak didik.

Konsep pengajaranya-pun sangat menarik, mengajarkan cara-cara memenuhi kebutuhan hidup karena mereka hidup dalam dunia kemodalan agar nantinya anak didik setelah dewasa tidak terjerumus dalam jurang kemiskinan. Tiga konsep pengajaran di Sekolah SI, pertama. Bahasa, berhitung, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa dan Melayu menjadi pelajaran buat bekal penghidupan. Kedua, memberikan hak-hak murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan. Ketiga, menunjukan kewajibannya kelak, terhadap kaum kromo.[5]

Konsep Pendidikan Membumi ala Tan Malaka

Bukan itu saja yang diajarkan di sekolah rakyat tersebut, tetapi rasa memiliki sekolahan tersebut, dengan cara murid-murid menariki sumbangan kepada masyarakat untuk kehidupan sekolah yaitu dengan ngamen, menyanyikan lagu international ke kampong-kampung. Internationale adalah lagu para kaum tertindas.

Hal ini dilakukan dengan dasar bahwa ketika murid sudah mempunyai rasa memiliki sekolah tersebut maka ia akan semangat menjaga dan memeliharanya. Itu diKarenakan biaya sekolah yang Tan Malaka dirikan tidak seperti sekolah-sekolah swasta lainnya yang memungut biaya mahal terhadap siswanya. Istimewanya lagi sekolah yang Tan Malaka dirikan mempunyai kurikulum yang dimana kurikulum tersebut menyesuaikan dunia anak didik.

Di sekolah lain, memposisikan siswa seolah-olah sebagai pekerja pabrik gula, siang malam belajar dan menghafalkan pelajaran tiada waktu untuk bermain.[6] Di sekolah SI tidak meniru sekolah yang mempunyai sistem seperti itu karena Sistem seperti ini membuat anak mempunyai sifat individualisme yang tinggi, murid selalu terpenjara dalam kesunyian demi menghafalkan pelajaran-untuk menghafalkan sebua kaliamat itu dibutuhkan suasana yang sunyi-. Mereka tidak kenal siswa dari kelas lain yang mereka kenal hanya kelasnya sendiri sehingga saat waktu istirahat dan bertemu dengan kelas lain dihalaman sekolah untuk bermain tidak merasakan kenyamanan, tidak bertegur sapa.

Di sekolah Tan Malaka, memberi apresiasi terhadap anak yang pintar menggambar tetapi di sekolah lain tidak karena tidak menjamin bisa masuk dan bekerja di pabrik-pabrik, yang pabrik butuhkan adalah orang-orang yang pintar menghitung uang menjalankan mesin pabrik. Sekolah yang seperti ini Cuma akan memunculkan buruh-buruh yang akan selalu tertindas lagi.

Metode pendidikan kerakyatan yang dikembangkan dalam sekolah SI tersebut, diharapkan juga melahirkan guru-guru yang natinya ditugaskan untuk mengajar di SI lagi. Jika sudah seperti ini maka teknik pengajarannya akan dilandasi dengan perasaan penuh cinta, gurunya suka terhadap kaum kromo dan berusaha mengentaskan mereka begitu pula dengan siswa yang juga dari kaum kromo merasa satu perjuangan. Strategi mengambil guru dari alumni sekolahan SI dilakukan karena lulusan sekolah SI itu sudah se ideologi, kalau sudah begini tinggal mencari guru-guru teknologi dari luar.

Semakin banyak lulusan yang berfaham kerakyatan maka akan mempermudah membuat gerakan karena semua masyarakat satu ideologi satu nasib. Ideologi kerakyatan yang ditanamkan dalam sistem pengajaran sekolah SI itu berbeda jauh dengan sekolah lainnya. Karena ideologi sekolah selain SI itu berhaluan kapitalis, ya..kapitalis karena ideologi pendidikan mereka dipengaruhi dengan ideologi kekuasaan pada saat itu (Belanda).

Tidak bisa dipungkiri ideologi penguasa di suatu negara juga akan mempengaruhi di segala bidang termasuk dunia pendidikan, karena penguasa bisa menggunakan kekuasaannya untuk menerapkannya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Yang tidak menaati kebijakan pemerintah bisa saja diberi sanksi atau dicap pembangkang.

Begitu pula dengan sekolah rakyat yang Tan Malaka dirikan tidak luput dari kencaman pemerintah saat itu karena berbeda dengan sekolah lainnya. Akan tetapi ancaman dan kenacaman dari pihak colonial tidak menyurutkan perjuangannya demi mencerdasakan bangsa serta mengentasakn rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan.

[1] Bahan bedah buku “SI Semarang dan Onderwijs” Rumah Singgah Sampangan 14 Januari 2010

[2] Takmir Rumah Singgah…maaf ya gelar saya cantumkan, biar gagah gitu lo..kwkwkkkkwkkwkwkwkwkwkwk

[3] Tan Malaka “SI Semarang dan Onderwijs”. Lihat di paragraph 3 sub bab Menuju “kewajibannya kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo” bahasa aslinya tidak seperti itu, bahasanya sudah di terjemahkan oleh penulis karena bahasa aslinya masih menggunakan ejaan lama jadi sulit dimengerti, namun mungkin saja penulis salah dalam mengartikan bahasa tulisan Tan Malaka

[4] Nurani Soyomukti, 2008 “Metode pendidikan Marxis Sosialis”hlm 52. dikutip dari Paul Lafargue.”menegnang Marx”

[5]Ibid. Lihat sub bab “peraturan Onderbouw” atau sekolah rendah”. Pertama, bahasa Belanda diajarkan karena dulunya Indonesia diajajah oleh belanda dan kebanyakan tengkulak atau para pengusaha berbahasa belanda, murid dididik bahasa belanda agar saat berbisnis dengan orang belanda tidak mudah dibohongi. Kedua,pergaulan yang dimaksud adalah berorganisasi, misalnya membuat organisasi sepak bola dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi hobi anak-anak. Ketiga, seupaya saat sudah lulus dan menjadi orang sukses masih peduli dengan kaum kromo dan berusaha untuk mengetaskan mereka dari kemiskinan.

[6] Ibid. lihat sub bab “Memberi haknya murid-muri” paragraph pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar