Senin, 06 September 2010

Hanya Miring di Bawah 1 Derajat, Kok DPR Heboh?


Pengukuran kemiringan gedung di Jakarta telah dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya miring. Namun, apakah kemiringannya masih dalam batas wajar?

Pengukuran struktur gedung di Jakarta pertama kali dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2002. Hasilnya, gedung berlantai 21 yang dibangun pada 1974 itu miring 1 derajat ke arah timur atau ke Jalan MH Thamrin di depannya.

Penelitian itu terkait dengan penetapannya sebagai gedung percontohan oleh (dahulu) Departemen Pekerjaan Umum untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 yang mengatur keamanan konstruksi serta keselamatan—antara lain kelengkapan sistem pemadam kebakaran, kenyamanan, dan kemudahan akses. "Jika gedung ini belum memenuhi persyaratan, akan dilakukan perancangan ulang dan perbaikan," ujar Pariatmono Sukamdo, pakar konstruksi dari BPPT.

Gedung I BPPT sebelumnya milik Advanced Technology Pertamina. Penyerahan kepada BPPT dilakukan tahun 1978 bertepatan dengan berdirinya badan riset itu. Selain Gedung I BPPT, Gedung DPR juga termasuk proyek percontohan (sekarang) Kementerian PU. Dalam pengukuran juga diketahui miring. Ini dikuatkan dengan hasil pengukuran Tim Kelompok Kerja Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menggunakan electronic total station yang terdiri dari teodolit elektronis dipadukan dengan pengukur jarak elektronis.

Tim yang terdiri dari Heri Andreas, Irwan Gumilar, dan M Gamal, Selasa (4/5), mengungkapkan, Gedung DPR miring sekitar 7,5 menit atau 0,12 derajat. Hasil ini jauh dari isu sebelumnya, yaitu miring sebesar 8 derajat. Ini diungkapkan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Kerja Geodesi ITB.

Menurut Pariatmono, kini Asisten Deputi Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kementerian Riset dan Teknologi, kemiringan dua gedung di bawah 1 derajat masih dalam batas wajar atau tidak sampai mengganggu kenyamanan penggunanya.

Kemiringan itu merupakan dampak proses konsolidasi lapisan tanah dalam yang menerima tingkat pembebanan yang relatif tinggi.

Derajat kemiringan berbeda karena kondisi lapisan tanah dalam yang berbeda. Kemiringan Gedung BPPT lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR. Penurunan tanah di BPPT yang berada di wilayah tengah Jakarta lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR yang berada di selatan. Kawasan BPPT dan sekitarnya terdiri dari batuan muda atau endapan sungai yang tengah mengalami proses konsolidasi.

Berdasarkan data pengukuran Dinas Pengembangan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, penurunan permukaan tanah di kawasan pusat Jakarta 60-80 cm, sedangkan di kawasan selatan sekitar 40 cm.

Penurunan ini diakibatkan volume pengambilan air tanah hingga lapisan akuifer yang dilakukan terus-menerus tanpa ada pengisian kembali. Semakin ke utara, tingkat eksploitasi air tanahnya semakin tinggi.

Berkurangnya air tanah itulah yang menyebabkan penurunan tanah yang lingkupnya kawasan. Menurut peneliti BPPT, Samsuhadi Samoen, penurunan muka tanah di Jakarta antara satu kawasan dan yang lain tidak merata.

Penurunan tanah di Jakarta yang terdiri dari tanah endapan diikuti oleh intrusi atau perembesan air laut dari utara yang terus bergerak masuk ke darat. Intrusi di kawasan selatan, menurut Samsuhadi, susah terdeteksi karena bercampur dengan air purba yang juga asin yang meluas hingga ke Bogor.

Pengukuran kondisi
Peraturan berwujud UU No 28/2002 mengharuskan setiap pengelola gedung bertingkat di Indonesia memeriksa kondisi gedung terhadap empat aspek tersebut.

Untuk itu, perlu ada dokumentasi gambar teknis struktur dari setiap gedung. Di Jakarta, yang paling pesat pembangunan gedung-gedung tingginya, hingga kini belum memiliki sistem informasi bangunan (building information system) yang menyimpan semua data tersebut.

Pariatmono, yang juga Kepala Pusat Informasi Riset Bencana Alam, menegaskan, informasi ini penting untuk simulasi dan skenario kebencanaan, terutama ketahanan gedung, terhadap gempa. Ketiadaan dokumen ini mempersulit pemecahan masalah dan perbaikan gedung.

Menurut Hari Sasongko, Ketua Badan Pengawasan Pembangunan DKI Jakarta, dokumen teknis setiap bangunan yang mendapat izin mendirikan bangunan di Jakarta sebenarnya tersimpan di Dinas Arsip DKI.

Dokumen itu meliputi gambar konstruksi struktur bawah dan atas, desain arsitektur, serta instalasi di dalam bangunan yang terdiri dari kelistrikan dan perpipaan serta akses transportasi di dalam gedung. Di DKI kini ada lebih dari 700 gedung di atas delapan lantai. Kelayakan bangunan di DKI diperiksa pengkaji teknis setiap lima tahun. Gedung pemerintah diperiksa Kementerian PU.

Audit bangunan
Berdasarkan UU No 28/2002, lanjut Pariatmono, semua gedung seharusnya diaudit untuk standardisasi. Kini belum ada perusahaan yang menangani audit prasarana gedung.

Hal lain yang harus dilengkapi adalah peta zonasi untuk gempa skala mikro. Dari kajian, diketahui daerah yang terbanyak korbannya adalah sekitar Jakarta Utara. Selain itu, pembuatan rute darurat juga diprioritaskan di Jakarta Pusat, lokasi pusat pemerintahan.

Untuk itu, perlu skenario akses mencapai daerah itu dalam periode emas, yaitu 1-2 jam. Jalur evakuasi perlu ditentukan dan diamankan. Jalur tersebut harus diperkuat agar tetap berfungsi pascabencana.

Pemasangan akselerometer di gedung-gedung bertingkat diperlukan untuk mengetahui kinerja gedung terhadap beban dinamis, termasuk gempa.

Jika ada akselerometer, dapat diketahui perilaku dinamis gedung, apakah sama atau tidak dengan analisis dinamis seperti yang telah dilakukan sebelum gedung dibangun. Hingga kini, sayangnya belum ada panduan cara memasang akselerometer di gedung tinggi. Pemasangan akselerometer di Gedung BPPT oleh Kementerian Riset dan Teknologi, antara lain, ditujukan untuk membuat panduan semacam itu, ujar Pariatmono. (KOMPAS Cetak)

Jumat, 03 September 2010

REKTOR TINJAU ULANG PERATURAN SERAGAM


Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Sudijono Sastroatmodjo akan meninjau ulang Peraturan Rektor Nomor 14 Tahun 2010 yang antara lain mengatur tentang etika berseragam, terutama seragam pramuka.

"Pada mulanya, peraturan itu akan berlaku efektif mulai 1 Oktober mendatang. Namun karena kurang sosialisasi, pemahaman berbagai pihak pun kurang. Karena itu, sifat sukarela menjadi pilihan, sambil kita melakukan evaluasi secara terus-menerus," kata Rektor saat berbuka bersama dengan belasan wartawan dan redaktur berbagai media, Kamis (2/9) petang, di rumah dinas rektor Jalan Kelud.

Penegasan itu disampaikan sebagai tanggapan atas banyaknya keberatan dan penolakan terhadap peraturan tersebut yang berkembang akhir-akhir ini. Tercatat, penolakan itu disuarakan melalui "Suara Warga" di Sikadu dan Facebook. Hingga berita ini diturunkan, tak kurang dari 776 orang telah tergabung sebagai "Facebooker Unnes Tolak Seragamisasi".

Menurut Rektor, yang langsung bisa menerima (seragam itu) sebagai bentuk yang diperlukan, baik adanya. "Namun andaikan belum, ya ndak apa-apa. Namanya saja sukarela. Jadi, tidak ada konsekuensi yang bersifat memaksa."

Dikemukakan pula, semangat peraturan tersebut sesungguhnya untuk mengatur komunitas agar tidak terjadi benturan. "Namun ketika peraturan itu kemudian tidak efektif bagi yang diatur, maka aturan itulah yang harus dilihat kembali," katanya.

Menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan aturan itu diubah, Rektor menegaskan, "Sangat terbuka untuk diubah. Undang-undang dasar saja bisa diamandemen, apalagi peraturan rektor."

sumber UNNES

Kamis, 02 September 2010

Senandung Gus Mus


Kau ini bagaimana?
kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana?
kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aq plin plan

aku harus bagaimana?
aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku
kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?
kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

aku harus bagaimana?
aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana?
kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

aku harus bagaimana?
aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

kau ini bagaimana?
kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana?
aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab

kau ini bagaimana?
kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana?
aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana?
kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Kau ini bagaimana atawa Aku harus bagaimana???



aku harus bagaimana?
kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana?
aku bilang terserah kau, kau tidak mau
aku bilang terserah kita, kau tak suka
aku bilang terserah aku, kau memakiku

kau ini bagaimana?
atau aku harus bagaimana?

1987
Mustofa Bisri (Gus Mus)

Rabu, 01 September 2010

Pengacara Senior: Semua Advokat Tukang Ribut

Pengacara senior, Yan Apul menilai semua advokat adalah tukang ribut. Pernyataan tersebut menanggapi kisruh aantara induk organisasi pengacara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Menurut Yan Apul, Peradi telah memasukan nama 132 orang menjadi pengurus Peradi yang diperkirkan akan menjadi biang rusuh di Munas Ponitanak 2009.

"Ternyata keributan terus terjadi di luar Peradi sehingga harus diartikan pula bahwa semua advokat adalah tukang ribut. Apa kata dunia?" kata Yan Apul.

Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi publik "Penyatuan Advokasi Advokat" yang didakan Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (31/8/2010).

Menurutnya perselisihan 2 induk organisasi tersebut harus diselesaikan lewat Munas Advokat maksimal 2 tahun sejak 29 Desember 2009 (perintah Mahkamah Konstitusi) dan juga sesuai UU. Tetapi jika tidak maka mundur ke belakang dengan membenahi UU Advokat dan membentuk Federasi. "Kalau pun tidak akan diselesaikan di peradilan umum," tegasnya.

Menanggapi kisruh ini, Presiden KAI Indra Sahnun Lubis sangat terbuka untuk diadakannya Munas/ kongres. Tapi dia menolak apabila kesepakatan 24 Juni 2010 dianggap sebagai pengakuan sah Peradi sebagai wadah tunggal. Sayang, Ketum Peradi Otto Hasibuan tak hadir dalam kesemptan tersebut.

"Yang ditandatangani itu piagam, bukan kesepakatan. Sampai kapan pun saya tak setuju dengan itu. Tapi saya mendukung diadakannya Munas," tutup Sahnun di tempat sama.