Kamis, 20 Januari 2011
Lir Ilir Penyembuh Bangsa
pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah sobek sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan oleh tradisi keserakahan yang tidak habis habis
Dondomono Jlumatono kanggo sebo mengko sore
harus kita jahit kembali, harus kita benahi lagi
harus kita utuhkan kembali supaya kita siap menghadap masa depan
Memang kita sudah lir ilir
sudah nglilir
sudah terbangun dari tidur
sudah bangkit dari tidur nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu
kita memang sudah bangkit
beribu ribu kaum muda,
berjuta juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan
membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan
akan tetapi mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka
sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan
sehingga tidak pahami beda antara demokrasi dan anarki
Terlalu lama kita tidak boleh berpikir
lantas sekarang hasil pikiran kita keliru keliru
sehingga tidak sanggup membedakan mana asap, mana api, mana emas, mana loyang, mana nasi, mana kotoran dan mana tinja
terlalu lama kita hidup didalam ketidak menentuan nilai
lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai nilai yang berlaku didalam kita sendiri
sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri
Terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya
sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang
sehingga dalam kegelapan, gerhana rembulan yang membikin kita buntu sekarang
kita junjung penghianat dan kita buang para pahlawan
kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan
Rabu, 19 Januari 2011
Hasil seleksi temen2 team Legal Drafting
1. David Bayu Narendra
2. Wafda Hadian Umam
3. Chotib Armuhono
4. Rakhmawan Alif Saroso
5. Nala Mazibatun
Jumat, 14 Januari 2011
Merintis Kemerdekaan melalui Sekolah Rakyat
Oleh : Muhtar Said SH[2]
Dunia pendidikan memang selalu menjadi perbincangan masyarakat, pendidikan dianggap bisa membantu seseorang dalam meraih kesejahteraan. Dasar itulah yang kemudian menjadi acuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka rela jual harta benda untuk biaya masuk sekolah favorit, memaksakan anaknya untuk menekuni bidang khusus yang tidak disukai oleh anak karena orang tua beranggapan bidang khusus yang dipilihnya dirasa bisa menjamin untuk merubah nasib.
Perubahan nasib yang menjadi alasan masyarakat untuk sekolah dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan untuk berlomba-lomba membeli fasilitas mahal, semua itu dijadikan jincu penghias agar masyarakat tertarik dan berbondong-bondong memberikan uangnya kepada sekolah (banyak yang daftar). Sekolah tempat mencari ilmu diubah menjadi alat mencari keuntungan, sekolah juga menjadi simbol diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Memang sekolah yang mahal itu kebanyakan memunculkan lulusan yang cerdas otak.
Sesungguhnya bukan hanya kecerdasan otak saja yang di inginkan oleh bangsa ini tetapi juga bisa menghargai sesama bangsa. Sekolah government mengajarkan kebersihan pada murid-murid namun tidak pernah diajarkan bahwa kaum kromo(miskin) itu juga mengerti tentang kebersihan sehingga murid-murid mempunyai pikiran bahwa kaum kromo adalah kotor.[3]seolah-olah yang mengerti kotor, dampak dari lingkungan kotor hanya mereka sendiri. Padahal kaum kromo itu terjebak pada kekumuhan diakibatkan karena sistem kapitalisme yang tidak memihak pada mereka, pernyataan kaum kromo itu identik atau suka dengan hal-hal yang kotor itu tidak benar karena mereka juga mengerti bahwa kotor itu tidak baik.
Pendidikan seperti itulah yang dikritik oleh Tan Malaka, karena hanya melahirkn lulusan yang cerdas otak saja, menganggap kerja yang bukan menggunakan otak itu hina seperti: petani, buruh dan pekerjaan kasar lainnya termasuk Pedagang Lima (PKL). Mereka jijik , menganggap sampah dan tidak mau bergaul terhdap pekerja kasar. Sesungguhnya pemikiran tersebut adalah penghinaan terhadap bangsa sendiri karena bangsa Indonesia kebanyakan dulu adalah pekerja kasar.
Para lulusan sekolah governement adalah lulusan yang tidak mempunyai akal yang membumi, memperbaiki dirinya sendiri. Sesungguhnya ilmu tidak boleh untuk diri sendiri. Orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusiaan.[4] Pendidikan saat itu tidak ditanami dengan perasaan pembebasan atau sifat merdeka. Bahkan sampai saat ini dunia pendidikan kita banyak yang belum ditanami dengan benih-benih kemerdakan, diajarkan untuk menjadi buruh kapitalis (misalnya SMK, mengajarkan murid untuk menjadi buruh :membuat paku, jadi sekretaris dll ). Kekurangan dalam dunia pendidikan saat itu di siasati oleh Tan Malaka saat ia masih aktif di Serikat Islam (SI). Tan Malaka menggunakan bendera SI untuk mendirikan sekolah yang berbasis kerakyatan, menanamkan jiwa kemerdekaan dan mengembangkan potensi-potensi anak didik.
Konsep pengajaranya-pun sangat menarik, mengajarkan cara-cara memenuhi kebutuhan hidup karena mereka hidup dalam dunia kemodalan agar nantinya anak didik setelah dewasa tidak terjerumus dalam jurang kemiskinan. Tiga konsep pengajaran di Sekolah SI, pertama. Bahasa, berhitung, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa dan Melayu menjadi pelajaran buat bekal penghidupan. Kedua, memberikan hak-hak murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan. Ketiga, menunjukan kewajibannya kelak, terhadap kaum kromo.[5]
Konsep Pendidikan Membumi ala Tan Malaka
Bukan itu saja yang diajarkan di sekolah rakyat tersebut, tetapi rasa memiliki sekolahan tersebut, dengan cara murid-murid menariki sumbangan kepada masyarakat untuk kehidupan sekolah yaitu dengan ngamen, menyanyikan lagu international ke kampong-kampung. Internationale adalah lagu para kaum tertindas.
Hal ini dilakukan dengan dasar bahwa ketika murid sudah mempunyai rasa memiliki sekolah tersebut maka ia akan semangat menjaga dan memeliharanya. Itu diKarenakan biaya sekolah yang Tan Malaka dirikan tidak seperti sekolah-sekolah swasta lainnya yang memungut biaya mahal terhadap siswanya. Istimewanya lagi sekolah yang Tan Malaka dirikan mempunyai kurikulum yang dimana kurikulum tersebut menyesuaikan dunia anak didik.
Di sekolah lain, memposisikan siswa seolah-olah sebagai pekerja pabrik gula, siang malam belajar dan menghafalkan pelajaran tiada waktu untuk bermain.[6] Di sekolah SI tidak meniru sekolah yang mempunyai sistem seperti itu karena Sistem seperti ini membuat anak mempunyai sifat individualisme yang tinggi, murid selalu terpenjara dalam kesunyian demi menghafalkan pelajaran-untuk menghafalkan sebua kaliamat itu dibutuhkan suasana yang sunyi-. Mereka tidak kenal siswa dari kelas lain yang mereka kenal hanya kelasnya sendiri sehingga saat waktu istirahat dan bertemu dengan kelas lain dihalaman sekolah untuk bermain tidak merasakan kenyamanan, tidak bertegur sapa.
Di sekolah Tan Malaka, memberi apresiasi terhadap anak yang pintar menggambar tetapi di sekolah lain tidak karena tidak menjamin bisa masuk dan bekerja di pabrik-pabrik, yang pabrik butuhkan adalah orang-orang yang pintar menghitung uang menjalankan mesin pabrik. Sekolah yang seperti ini Cuma akan memunculkan buruh-buruh yang akan selalu tertindas lagi.
Metode pendidikan kerakyatan yang dikembangkan dalam sekolah SI tersebut, diharapkan juga melahirkan guru-guru yang natinya ditugaskan untuk mengajar di SI lagi. Jika sudah seperti ini maka teknik pengajarannya akan dilandasi dengan perasaan penuh cinta, gurunya suka terhadap kaum kromo dan berusaha mengentaskan mereka begitu pula dengan siswa yang juga dari kaum kromo merasa satu perjuangan. Strategi mengambil guru dari alumni sekolahan SI dilakukan karena lulusan sekolah SI itu sudah se ideologi, kalau sudah begini tinggal mencari guru-guru teknologi dari luar.
Semakin banyak lulusan yang berfaham kerakyatan maka akan mempermudah membuat gerakan karena semua masyarakat satu ideologi satu nasib. Ideologi kerakyatan yang ditanamkan dalam sistem pengajaran sekolah SI itu berbeda jauh dengan sekolah lainnya. Karena ideologi sekolah selain SI itu berhaluan kapitalis, ya..kapitalis karena ideologi pendidikan mereka dipengaruhi dengan ideologi kekuasaan pada saat itu (Belanda).
Tidak bisa dipungkiri ideologi penguasa di suatu negara juga akan mempengaruhi di segala bidang termasuk dunia pendidikan, karena penguasa bisa menggunakan kekuasaannya untuk menerapkannya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Yang tidak menaati kebijakan pemerintah bisa saja diberi sanksi atau dicap pembangkang.
Begitu pula dengan sekolah rakyat yang Tan Malaka dirikan tidak luput dari kencaman pemerintah saat itu karena berbeda dengan sekolah lainnya. Akan tetapi ancaman dan kenacaman dari pihak colonial tidak menyurutkan perjuangannya demi mencerdasakan bangsa serta mengentasakn rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan.
[1] Bahan bedah buku “SI Semarang dan Onderwijs” Rumah Singgah Sampangan 14 Januari 2010
[2] Takmir Rumah Singgah…maaf ya gelar saya cantumkan, biar gagah gitu lo..kwkwkkkkwkkwkwkwkwkwkwk
[3] Tan Malaka “SI Semarang dan Onderwijs”. Lihat di paragraph 3 sub bab Menuju “kewajibannya kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo” bahasa aslinya tidak seperti itu, bahasanya sudah di terjemahkan oleh penulis karena bahasa aslinya masih menggunakan ejaan lama jadi sulit dimengerti, namun mungkin saja penulis salah dalam mengartikan bahasa tulisan Tan Malaka
[4] Nurani Soyomukti, 2008 “Metode pendidikan Marxis Sosialis”hlm 52. dikutip dari Paul Lafargue.”menegnang Marx”
[5]Ibid. Lihat sub bab “peraturan Onderbouw” atau sekolah rendah”. Pertama, bahasa Belanda diajarkan karena dulunya Indonesia diajajah oleh belanda dan kebanyakan tengkulak atau para pengusaha berbahasa belanda, murid dididik bahasa belanda agar saat berbisnis dengan orang belanda tidak mudah dibohongi. Kedua,pergaulan yang dimaksud adalah berorganisasi, misalnya membuat organisasi sepak bola dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi hobi anak-anak. Ketiga, seupaya saat sudah lulus dan menjadi orang sukses masih peduli dengan kaum kromo dan berusaha untuk mengetaskan mereka dari kemiskinan.
[6] Ibid. lihat sub bab “Memberi haknya murid-muri” paragraph pertama
Jumat, 07 Januari 2011
SI Semarang dan Onderwijs
SI Semarang dan Onderwijs
Tan Malaka (1921)
Sumber: Yayasan Massa, terbitan tahun 1987
Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Juni 2007)
Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.
Kata Pengantar Penerbit
Lagi sebuah buku kecil (brosur) Tan Malaka berjudul “SI Semarang dan Onderwijs”, yang ejaan lama telah kita sesuaikan dengan ejaan baru, dan juga telah kita tambah dengan daftar arti kata-kata asing hal 34-36.
Brosur ini diterbitkan di Semarang pada tahun 1921 oleh Serikat Islam School (Sekolah Serikat Islam). Karya pendek Tan Malaka ini sudah termasuk: “Barang Langka”. Brosur ini merupakan pengantar sebuah buku yang pada waktu itu akan ditulis oleh Tan Malaka tentang sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan, dihadapkan pada sistem pendidikan yang diselenggarakan kaum penjajah Belanda. Bagaimana nasib niat Tan Malaka untuk menulis buku tentang pendidikan merakyat itu, kami sebagai penerbit kurang mengetahuinya. Mungkin Tan malaka tidak sempat lagi menulisnya karena tidak lama kemudian beliau dibuang oleh penjajah Belanda karena kegiatan perjuangannya dan sikapnya yang tegar anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Terserah kepada penelitan sejarah Bangsa Indonesia nantinya untuk menelusuri perkara ini. Yang jelas tujuan Tan Malaka dalam pendidikan ialah menciptakan suatu cara pendidikan yang cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat yang melarat !
Dalam hal merintis pendidikan untuk Rakyat miskin pada zaman penjajahan Belanda itu, tujuan utama adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia Merdeka. Tan Malaka berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat Hanyalah bisa diperoleh dengan DIDIKAN KERAKYATAN” menghadapi “Kekuasan Kaum Modal yang berdiri atas DIDIKAN YANG BERDASARKAN KEMODALAN”.
Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Untuk sekedar mengetahui latar-belakang mengapa Tan Malaka sebagai seorang pejuang besar dan revolusioner itu sadar dan dengan ikhlas terjun dalam dunia pendidikan pergerakan Islam seperti Sarekat Islam ? Tidak lain karena keyakinannya bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia itu adalah seluruh lapisan dan golongan Rakyat melarat Indonesia, tidak perduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis.
Seluruh kekuatan Rakyat ini harus dihimpun dan disatukan untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Tanah Air kita. Persatuan ini harus di tempat di kawah candradimukanya perjuangan menumbangkan kolonialisme dan imperialisme. Inilah mengapa Tan Malaka pun tidak ragu-ragu dan secara ikhlas terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Dalam lingkungan pendidikan Serikat Islam yang merupakan pergerakan rakyat yang hebat pada waktu itu. Jangan pula dilupakan bahwa usia Tan Malaka pada waktu itu masih sangat muda.
Memasuki ISI dari karya pendek Tan Malaka ini, dikemukakan oleh Tan Malaka TIGA TUJUAN pendidikan dan kerakyatan sebagai berikut :
1. Pendidikan ketrampilan/Ilmu Pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat KEMODALAN.
2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.
3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.
Si Kromo, si-Marhaen, si-Murba tanpa memandang kepercayaan agama, keyakinan dan kedudukan mereka, dalam hal ini termasuk golongan-golongan rakyat miskin lainnya.
Ketiga TUJUAN pendidikan kerakyatan tersebut telah dirintis oleh Tan Malaka dan para pemimpin Rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, pesantren-pesantren Nahdatul Ulama, SI dsb. Semua usaha, pengorbanan mereka itu tidak sedikit sahamnya dalam Pembangunan Bangsa/National Building dan dalam membangkitkan semangat perjuangan memerdekakan Rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Merek atelah memberikan yang terbaik dalam hidup mereka kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia. Mereka telah tiada, tetapi jiwanya yang menulis, jiwa-besar mereka, pikiran-pikirannya yang agung akan tetap hidup sepanjang zaman.
Akhir kata dikutip di bawah ini ucapan tokoh besar pergerakan kemerdekaan dan pemimpin besar Presiden Amerika Serikat ABRAHAM LINCOLN sebagai berikut :
“WE MUST FIRST KNOW WHAT WE ARE, WHERE WE ARE AND WHERE WE ARE GOING, BEFORE SAYING WHAT TO DO AND HOW TO DO IT”
”Pertama-tama harus diketahui Apa kita, dan Dimana Kita serta Kemana Kita akan pergi, sebelum mengatakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukanya”.
Penerbit,
Yayasan Massa, 1987
PENDAHULUAN
Tergopoh-gopoh kita mengeluarkan buku ini, yang maksudnya hendak menggambar dan menuliskan percobaan Onderwijs, yang rasanya cocok dengan keperluan dan cita-cita Rakyat, yang melarat.
Hampir semua lid SI Semarang kenal sama SI school. Mereka yang hampir pada tiap-tiap vergadering mendengarkan propaganda yang berhubungan dengan sekolah tiu, tentulah akan lebih suka lagi, kalau mempunyai suatu buku, yang lebih jelas menerangkan keadaan serta hal ikhwalnya sekolah itu. Dengan buku itu kita bisa pula mengumumkan haluan SI school dimana-mana , juga pada tempat-tempat yang sudah setuju dengan Semarang.
Buku ini tentu belum sempurna, sebab sekolah SI masih baru sekali. Lagi pula kita sengaja bercerita pendek, buat menerangkan yang perlu saja, sehingga orang yang tidak paham dalam hal ilmu didikan, juga bisa mengambil arti yang berguna bagi dirinya sendiri.
Kita berharap, bahwa dengan cerita yang pendek itu, beserta gambar-gambaran, sampai maksud kita yakni hendak melukiskan didikan Rakyat yang kita katakan tadi. Sungguhpun kita belum tahu, akan hasil perbuatan kita, tetapi kalau kita tilik sikapnya pihak sana, maka kita boleh mengambil keyakinan, bahwa jalan kita ada baik. Baru saja sekolah kita dibuka, Surabayasch Handelsblad serta konco-konconya sudah berteriak : “Hai, pemerintah awasi sekolah SI itu”. Wakil pemerintah di Semarang (Ass. Resident) sudah melarang membikin pasar derma (dengan art 520. WVS ??), yang selamanya ini boleh dilakukan, melarang anak-anak kromo meminta darma dengan menyanyi international (sepanjang art 154. WVS).
Pendeknya sekalian halang-halangan itu, yang dirasa menutup jalan untuk memperbaiki sekolah, sudah menimbulkan protest besar pada tanggal 13 Nopember ini, pada vergadering SI yang dikunjungi oleh kira-kira 5000 orang lelaki dan plm. 4000 orang perempuan. Perkara tanah yang juga penting buat Rakyat Semarang cuma memakan kira-kira 1 jam, sedangkan perkara onderwijs itu ada menghabiskan waktu kira-kira 2 ½ jam.
Selama kita tinggal di Semarang, belumlah pernah kita menyaksikan suara yang begitu tajam dan keras, baik dari pihak Destuur ataupun lid-lid SI. Sikapnya vergadering tadi seolah-olah seekor burung, yang anaknya disambar Elang. Di dalam di luar vergadering (di desa-desa) kita mendengar: SI school mesti terus:
Ya, SI school mesti terus, inilah jawab kita.
PERATURAN ONDERBOUW (SEKOLAH RENDAH)
Bahwa sekolah SI bukan seperti sekolah particulier yang lain-lain, yakni pertama sekali buat mencari keuntungan, bolehlah kita buktikan dengan bermacam-macam jalan. Bukan saja karena ongkos buat uang sekolah adalah lebih enteng, dan pengajaran ternyata lebih baik seperti keterangan anak-anak sendiri yang datang dari sekolah-sekolah partkulier, tetapi yang terutama sekali, karena hawa (=geest) di sekolah SI ada lebih sehat dan lebih dekat pada watak dan sifat anak asal dari Timur, yakni kalau kita bandingkan dengan geewst di sekolah-sekolah partikulier atau HIS Gouvernement. Nyata buat kita yang anak-anak suka bekerja keras untuk mencari kepandaian, yang perlu kelak buat keperluan hidup (seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa dsb) pada dunia kemodalan, yang tiada mempunyai kasihan satu sama lain, pada dunia yang memberi rezeki dan keselamatan cuma pada yang kuat dan pintar saja. Itu memang kewajiban kita sebagai gurunya, supaya kelak anak-anak yang keluar dari sekolah SI cukup membawa senjata untuk perjuangan kelak dalam hal mencari pakaian dan makanan buat anak istrinya.
Pula kita tidak lupa, bahwa ia masih kanak-kanak dalam usia mana ia belum boleh merasa sengsaranya hidup dan berhak atas kesukaan bergaul sebagai kanak-kanak.
Perkara yang ketiga kita ingat juga, bahwa murid-murid kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa (Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.
Ringkasnya maksud kita yang terutama :
- Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
- Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging).
- Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo.
I. Memberi senjata cukup, buat mencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, membacara, babad, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan sebagainya).
Perkara yang pertama ini tidak perlu kita panjangkan. Tiap-tiap kita yang keluar dari sekolah sudah tahu, apa artinya pengajaran sekolah hari-hari. Cuma kita dengan pengajaran sekolah itu juga mesti bangunkan hati merdeka, sebagai manusia dengan bermacam-macam jalan. Lagi pula kita mesti bangunkan sifat-sifat kuno, yang terbilang baik. Nyanyi-nyanyi jawa dan wayang-wayang begitu juga menggambarkan wayang-wayang yang begitu sukar kita hargai tinggi. Dalam dua tiga hari saja dinding sekolah kita sudah penuh dengan bermacam-macam gambaran wayang (Bambang Irawan, Prabu Doso Muko, Gatot Koco dan sebagainya), yang digambar oleh anak-anak sendiri dalam waktu temponya. Dalam kepintaran menggambar ini kita sebagai guru mengaku tunduk sama anak-anak yang berumur 10 atau 12 tahun itu. Kita berani mengatakan, yang juga anak-anak eropa yang berumur sebegitu, atau lebih, mesti akan kalah sama anak-anak kita. Nah, kalau bangsa Eropa meninggikan betul kepintaran menggambar itu, lebih-lebih bangsa Belanda1, kenapa tidak dikeluarkan kepandaian yang memang tersembunyi pada bangsa jawa itu? Jawabnya: barangkali sebab pabrik gula atau kantor post lebih suka sama yang pandai menyalin kopi, atau menghitung uang masuk dan keluar, dari pada sama orang, yang pandai menggambar Doso Muko.
Perkara berhitung, tentu kita berani tanggung. Kita tahu, bahwa orang-orang sekolah kelas II dahulu lebih pintar berhitung dari keluaran sekolah HIS sekarang, seperti juga orang-orang keluaran sekolah kweekshchool 20 tahun yang lalau umpamanya, lebih gemar dan lebih pandai berhitung dari keluaran kweekschool sekarang. Tentulah bahasa Belanda itu sangat menghambat kemajuan berhitung. Juga caranya mengajar. Dahulu orang-orang itu disuruh sendirinya saja berhitung. Cuma apa yang tidak bisa saja yang diterangkan.
Bukankah seperti sekarang guru-guru mabuk methode (cara mengajar), sehingga anak-anak tidak bisa cari jalan sendiri. Kita ingat akan babad onderwijs (sejarah pendidikan) di negeri Belanda, dimana orang-orang tani desapun, beberapa ratus tahun dulunya, turut campur berhitung. Semua isi desa memikirkan suatu persoalan, dan yang mendapat pendapatan dimuliakan betul. Kita sendiri masih ingat akan masa, dimana teman-teman kita murid sekolah kelas II (bukan HIS) kesana sini pergi mencari hitungan. Di sekolah SI kita biarkan juga kemauan berhitung itu. Yang pandai kita suruh terus, beberapa kuatnya saja, sehingga sudah ada anak yang duduk di kelas IV umpamanya, yang sekarang sama kitab hitungannya dengan kelas V HIS.
Kita memang tidak pakai Rooster (daftar pengajaran) seperti HIS. Tidak saja dalam berhitung kita lepas anak-anak sebagaimana kuatnya, tetapi dalam hal mengajar bahasa (Belanda) kita melanggar Rooster. Di kelas II umpamanya duduk anak-anak ada yang sampai berumur 13 tahun. Anak-anak ini keluar sekolah kelas II. Kita mesti terima anak-anak ini. Kalau tidak tentu dia mesti mondar-mandir saja di jalan rayat, karena sekolah yang lain buatnya tidak ada, atau terlampau mahal.
Kita jangan lupa, bahwa diantaranya banyak yang kencang otak, cuma tak bisa bahasa Belanda saja. Tetapi sebab kelak perlawanannya ialah kaum modal, yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu, terutama untuk mengerti, baru yang kedua untuk menulis atau berbicara dalam bahasa itu. Jadi sebab anak-anak berumur 13 tahun ke bawah itu sudah bisa berhitung buat kelas II, sementara kita pentingkan mengajarkan bahasa Belanda. Tentulah sementara saja, karena kita tidak lupa akan pengajaran lain-lain.
Anak-anak keluaran kelas II itu menjadi pertimbangan yang penting sekali buat kita. Untuk mencari pekerjaan mereka itu masih amat kecil. Tetapi ia tiada bisa meneruskan pengajaran. Sebab itulah mereka itu merasa sampai hati sanubarinya dihimpit oleh kemodalan, yang memberi onderwijs (pendidikan) buat yang kaya dan yang mampu membayar saja. Inilah anak-anak yang mudah dimasuki rasa kemerdekaan karena mau naik, tetapi tiada bisa. Pemuda-pemuda semacam inilah di Rusia, yang di muka, di medan peperangan yang menahan pelornya kaum Modal, yang mempertahankan peraturan Komunisme, yang memberi kesempatan bagi kemajuan pikiran dan perasaan pada tiap-tiap manusia. Anak-anak kita di SI school yang keluar kelas II ada serupa kaumnya di Rusia tadi.
Dialah yang rajin, gemar dan kalau menyanyikan internasional (lagunya kaum yang tertindas di atas dunia), maka suaranyalah yang keras dan matanyalah yang bercahaya api, disebabkan oleh arti lagu internasional itu.
Selain dari pada vak-vak (mata pelajaran) berhitung, menggambar, bahasa itu, tentulah vak-vak ilmu bumi, babad (sejarah) dunia, menyanyi dan sebagainya kita ajarkan dengan cara dan dasar, yang cocok dengan haluan kaum SI, ialah kaum yang melarat. Semua ini belumlah program yang sempurna. Kalau ada perlu tentu disana-sini boleh dirubah.
II. Memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan.
Kalau kita perhatikan pergaulan anak-anak di sekolah-sekolah masa sekarang, maka sia-sialah kita mencari geest (hawa) yang sepadan dengan usianya anak-anak. Murid-murid sekarang kerjanya lain tidak semacam mesin pabrik gula, yang siang malam tak berhenti bekerja. Siang malam anak-anak mesti belajar dan menghafalkan pelajaran, sehingga tiadalah berapa waktu tinggal untuk bermain-main. Lain dari pada waktu uitspanning, (main-main di pelataran) tiadalah ada mereka sanggup bercampur-campur. Satu sama lain kenalnya di kelas saja, sehingga kanak-kanak tiada merasa enaknya kumpul-berkumpul. Sifat ini kelak kalau besar akan terbawa-bawa juga, sehingga tiap-tiapnya orang suka mencari kesenangan sendiri-sendiri saja.
Anak-anak itu memangnya suka berkumpul-kumpul. Dalam permainan apapun juga, ia ada mempunyai peraturan sendiri. Sungguhpun peraturan tadi (dalam main layangan umpamanya) tidak dituliskan pada Reglement, tetapi mereka yang kecil-kecil itu tiada akan melanggar peraturan yang tetap. Dalam permainan apapun juga kita bisa pastikan, bahwa di sana ada kepala, yang menguruskan permainan, sungguhpun kepala tadi tidak dipilih dengan cara memilih seperti dalam sebuah vereeniging. Kalau ada anak yang melanggar adat bermain, mak anak itu lekas kena tegur dan kalau tiada mau mendengar, maka ia akan kena boycot.
Sifat yang batin-batin itu, mesti kita majukan, dan mesti kita sambung. Apa yang kurang mesti kita tambah. Tetapi tidak semacam guru tidak boleh jadi diktator dalam permainannya. Dia mesti merdeka sendirinya. Cuma kalau dia salah atau tidak tahu jalan, baru kita memberi nasehat.
Sifat suka bergaul itu kita sudah mencoba membangunkan sedikit dengan perkataan. Dengan lekas anak-anak kita di SI school mau mengambil buktinya. Dengan segera terdiri suatu “Commite untuk Bibliotheek” (perkumpulan buku-buku) dan baru-baru ini Commite Kebersihan, dan Voetbal Club (klub sepakbola), Coorzitter dan bestuur yang lain-lain sama sekali dipilih oleh anak-anak. Begitupun Reglementnya dibikinnya sendiri. Dalam watku uitspanning atau sesudah sekolah, maka kita melihat mereka sering mengadakan Vergadering, untuk merembukkan ini itu. Dalam Vergadering SI (orang besar) anak-anak kita yang berumur 13 atau 14 tahun itu sudah pernah bicara, di Semarang ataupun Kali Wungu.
Sedangkan orang-orang tua dan pintar masih gentar dan takut bicara di muka orang banyak; tetapi anak-anak SI school sudah pernah menarik hati orang-orang tua, lantaran keberaniannya. Mereka yang kecil, yang memakai selempang, ditulis dengan rasa kemerdekaan, anak-anak yang berpidato dan menyanyikan internasional, sudah pernah menjatuhkan air mata beberapa lid SI yang mengunjungi Vergadering.
Anak-anak kita akan terus bikin propaganda untuk Bibliotheeknya tadi. Selama ini disambut dengan girang hati. Begitu juga murid-murid SI ada berpengarapan, yang kasnya akan lekas terisi derma, dan lemarinya akan terisi buku-buku, yang dikehendakinya.
Dalam hal organisasinya tadi, kita hampir tiada menolong apa-apa, karena maksud kita bukan hendak mendidik anak-anak jadi Gromopon. Kita mau, supaya dia berpikir dan berjalan sendiri.
Besar pengharapan kita, bahwa kelak Vereeniging yang lain-lain seperti tooneel (komidi, sandiwara), wayang menyanyi, surat kabar dan lain-lain, yang setengahnya sekarang masih dalam pikiran saja akan hidup dan maju seperti “Vereeniging Bibliotheeknya” ini.
III. Menuju kewajibannya kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo
Ini maksud mudah dituliskan, tetapi tiada mudah disampaikan. Kita jangan lupa, bahwa kita mengajar kanak-kanak, yang belum pernah membanting tulang sendiri buat mencari penghidupan untuk anak istrinya. Seorang yang mempunyai hati dan pikiran yang suci mudah kemasukan iblis, kalau sudah ditimpa bahaya kemelaratan hidup. Demikian juga kelak anak-anak keluaran SI tentu akan ada juga yang pecah iman, kalau mesti masuk pada neraka kemodalan. Hal itu tentu tiada boleh menakuti kita; hanyalah menambah memaksa memikirkan daya upaya, supaya anak-anak keluaran sekolah SI jangan kelak membelakangi Rakyat.
Kalau kita periksa dalam-dalam segala perkara-perkara yang memisahkan pemuda-pemuda keluaran sekolah Governement dari Kaum Kromo, maka ternyatalah, bahwa perkara-perkara itu mesti dicari pada sifatnya didikan sekolah-sekolah tersebut.
Di sekolah Governement diajarkan kebersihan pada murid-murid, tetapi tiada dibilang, bahwa Kromo tiada tahu, apa yang bersih, kalau tahu apa bahaya kekotoran. Nanti kalau murid-murid ini sudah besar, maka tiadalah sedikit juga kehendak padanya untuk membangunkan kebiasan kebersihan itu pada kaum melarat itu. Tidak, malah mereka dalam batinnya turut benci pada si Kromo yang kotor katanya itu, dan turut membilang, bahwa kekotoran itu memang sudah sifatnya si Kromo. Jadi didikan sekolah Governement semacam itu, yang tiada disertai kecintaan atas Rakyat, tiada menanam kewajiban buat menaikkan derajat Rakyat menyebabkan, maka didikan itu menimbulkan suatu kaum (bernama kaum terpelajar) yang terpisah dari Rakyat.
Tentulah tiada perkara kebersihan saja yang mendatangkan pisahan itu. Juga kepandaian, adat istiadat, yang didengarkan atau dibacanya dalam sekolah, sama sekali tidak menanam belas kasihan pada Kromo. Dan kalau tiada dibangunkan rasa kewajiban dan kecintaan, maka sudahlah tentu yang bersih pandai dan sopan itu tiada akan tahu menahu yang kotor, bodoh dan biadab, kata kaum sana itu.
Perkara juga yang bisa mendatangkan pisahan itu ialah perceraian kerja tangan dan kerja otak. Sekolah biasa dianggap cuma buat mencari kepandaian otak saja. Itulah pula kerjanya anak-anak itu hari-hari. Dahulu kala, dan sekarang juga, anak-anak itu di desa turut mencangkul atau bertukang. Semuanya dilakukannya dengan kegemaran. Tetapi pada sekolah zaman sekarang bertukang atau mencangkul itu cuma dilihatnya saja baik dalam perjalanan atau pada gambar-gambar sekolah. Kalau pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh kaum kotor, bodoh dan sebagainya, heranlah kita, kalau pemuda-pemuda yang bernama terpelajar itu kelak berpikir: Kerja tangan itu rendah sekali?
Di sekolah SI tidak saja dibilang apa yang bersih, tetapi diajarkan sendiri mencari kebersihan. Jongos-jongosan tidak ada.
Baru-baru ini sesudah kita mencela kekotoran sekolah dan perkakasnya sekolah kita sendiri, maka segera dibangunkan “Commite kebersihan”, Commite inilah yang menjaga supaya segala pekerjaan berhubung dengan kebersihan sekolah (bangku, bord, dsb) dilangsungkan. Kalau sekarang belum pukul delapan kita memasuki kantor SI maka kelihatanlah anak-anak yang bersingsing lengan baju, memegang kain atau ember untuk membersihkan bangku atau bord (papan tulis). Ini kemajuan besar. Karena, kalau 2 atau 3 bulan yang lalu, kita sedikit minta tolong, umpamanya membersihkan papan, maka kita lihat muka yang seolah-olah mau berkata : “Ini pekejaan jongos”.2
Memandang rendah pada pekerjaan tangan, yakni kerja ibu bapaknya hari-harian, itulah yang mau kita perangi dengan sekuat-kuatnya. Anak-anak mesti cinta pada segala macam pekerjaan yang disahkan (halal).
Sesudah kita bisa buang sifat didikan yang bisa mendatangkan benci pada kaum Kromo (yang kerja tangan) itu, maka harus kita perhubungkan anak-anak kita dengan kaum melarat. Itulah gunanya, kalau ada tempo kita membicarakan nasib si kromo; kita menanam hati belas kasihan sama bangsa yang tertindas; kita menunjukkan kewajiban sebagai anak kaum yang tertindas itu. Sebab itulah kita membangunkan hatinya, supaya berani bicara dalam Vergadering SI, atau Vergadering Kaum Buruh.
Bijak dan berani berpidato, yakni kepandaian yang dimuliakan oleh segala bangsa yang merdeka, baik dahulu, baik sekarang, bisa ditanam cuma dengan jalan Vergadering saja. Kalau kita amat-amati pemimpin-pemimpin muda kita, baik dalam Commite Bibliotheek, “Commite kebersihan” atau “Voetbal Club” dalam Vergaeringnya masing-masing, maka mudah kita saksikan, bahwa dalam Vergaderingnya itu ada orde (aturan), dan ada hati sungguh (baik dari pihak speker (pembicara) ataupun yang mendengar). Kadang-kadang kita heran melihat, bagaimana seorang kanak-kanak bisa mengenggam Vergadering yang dikunjungi oleh lebih kurang 180 anak-anak. Vereeniging inilah suatu sekolah, yang besar artinya untuk mendidik rasa dan hati mereka; mendidik untuk memikirkan dan menjalankan peraturan buat pergaulan hidup, mendidik untuk fasih dan berani bicara, didikan mana dalam zaman perbudakan ini lebih besar harganya dari pada mengetahui, berapa banyaknya sungai-sungai di pulau Borneo umpamanya.
Kalau kita bisa menyambungkan perkumpulannya dalam sekolah itu dengan perkumpulannya ibu bapaknya seperti Serikat Islam, maka rasanya kelak, kalau ia keluar sekolah tidak akan berpisah dengan ibu bapaknya itu. Sebab itulah maka kalau ada vergaering SI Semarang, kita mengajak anak-anak yang sudah mengerti, mengunjungi vergadering tadi.
RINGKASNYA :
- Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan hidup.
- Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum Proletar.
- Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
- Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.
PERATURAN MIDDENBOUW (SEKOLAH TENGAH)
Demikianlah bunyinya program SI school di Semarang. Menilik nama Brosure kita yakin bahwa maksud kita bukan hendak mengadakan satu sekolah saja, malah mempertimbangkan hal onderwijs (haluan didikan), juga buat SI. Tegasnya maksud kita mencari suatu macam didikan yang bisa mendatangkan faedah bagi Rakyat, negeri-negeri lain di luar semarang, yang mau mendirikan sekolah seperti di Semarang, maka kita mesti mengatur sekolah itu seperti di Semarang juga.
Sampai sekarang sudah ada tiga atau empat kota yang sudah meminta pada kita, supaya diadakan dan diatur pula sekolah-sekolah SI. Kota-kota itu sudah siap murid, siap bangku sekolah dan perkakas yang lain-lain. Cuma belum siap akan gurunya. Perkara guru itu penting sekali. Jarang guru keluaran keewwkschool, yang mau atau berani memihak pada kita, kalau memihak, ialah karena gaji saja, bukan karena hati atau haluannya.
Sebab itulah kita sendiri pula mesti menanam guru buat SI school itu (sekolah tengah). Pekerjaan ini sudah kita mulai, jadi tidak tinggal dalam pikiran saja lagi. Setiap sore (sementara ini baru 3 x satu minggu saja) di kantor SI diadakan kursus mengajar murid-murid SI yang kelas V, VI, dan VII (jadi murid-murid yang berumur dari 15 tahun ke atas) menjadi guru. Murid-murid itu biasanya kebetulan keluaran sekolah kelas II, jadi sudah menerima pengajaran dalam berbagai-bagai kepandaian. Dalam kepandaian yang tersebut dan dalam bahasa Belanda mereka tiap-tiap pagi dari pukul 8 – 1 dapat pelajaran. Sebab ia keluaran kelas II tadi, maka ia biasanya lekas sudah berhitung, menulis dan sebagainya. Jika ia sudah, maka ia segera disuruh menolong mengajar di kelas rendah SI school yakni pada anak-anak yang baru masuk sekolah. Jadi murid-murid yang besar-besar tadi tiap-tiap hari boleh belajar mendidik, tidak dalam teori saja, malah juga dalam praktek.
Pendeknya kerja murid-murid di atas dari kelas V yang keluaran sekolah kelas II, dan berumur lebih dari 15 tahun adalah seperti di bawah ini :
- Dari pukul 8 – 1 (pagi) ia meneruskan pelajarannya di sekolah. Karena ia lekas sudah mengerjakan tiap-tiap vak, maka selama ¼ jam temponya itu, ia disuruh membantu guru-guru SI di kelas I dan II (semacam guru bantu).
- Tiap-tiap sore murid-murid besar itu diberi ilmu pendidikan (paegogogie), supaya teorinya buat mengajar semacam guru.
Selamanya ini pekerjaan ada langsung. Sebentar lagi kita memang berani mempercayakan kelas I sama sekali kepada anak-anak yang sudah kena kursus itu. Tentulah kursus sore itu belum bisa sempurna, sebab belum cukup banyaknya anak-anak yang dari kelas V ke atas itu. Sesudah tiga atau empat tahun lagi barulah kursus sore itu bisa diatur semacam kweekschool yakni dikasih pengajaran sama tinggi dengan kweekschool Gouvernement. (kita sendiri juga sudah keluaran Kweekschool Gouvernement itu).
Tetapi sebab permintaan negeri-negeri yang lain-lain di atas tadi, maka dari sekarang kita mesti bersiap. Tiadalah ada salahnya kalau sekarang lebih dahulu kita bicarakan gaji murid-murid keluaran kursus tadi. Kalau murid sudah mendapat kursus 1 tahun, jadi dihitung berhak mengajar di kelas I SI school, maka gajinya plm. bisa f 40,-. Kalau murid itu sudah dapat kursus 2 tahun jadi dihitung berhak (bevoegd) mengajar di kelas II SI school, maka gajinya kira-kira bisa f 50,-. Demikianlah berturut-turut, sehingga kalau guru-guru tadi sudah berhak (bevoegd) mengajar di kelas VII SI dan umurnya dipukul rata 22 tahun, maka gajinya bisa f 100,-. Kalau sekolah maju dan muridnya bertambah-tambah, tentu gajinya guru keluaran kweekschool SI bisa sempurna.
Di bawah ini kita kasih begrooting, yang kira-kira bisa diteruskan di kota besar-besar seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, dsb.
SI, school yang mempunyai murid 300. jumlah uang sekolah sebulan = 300 x f 3 = f 900. Gaji guru-guru = f 40 + f 50 +f 60 + f 70 + f 80 + f 90 + f 100 = f 490. Sisa = f 510.Yang f 500 lebihnya ini boleh sebagian dipakai untuk menambah gaji guru yang sudah lama dinas, yang rajin, pandai dan sebagainya sehingga rasanya maximum f 200 bisa didapat. Banyak murid itu bisa lebih dari 300, karena kita bikin paralelklassen (Ia, Ib, Ic; kelas-kelas ini sama pengajarannya, Cuma gurunya lain-lain, sehingga di klas I saja bisa masuk lebih dari 2 atau 3 guru, dan murid lebih dari 100 atau 200).
Jadi pendeknya pemuda-pemuda keluaran kursus SI Semarang, bisa jadi guru di SI school lain-lain. Buat anak-anak keluaran kelas II school juga kita terima terbuka jalan buat memimpin Rakyat, baik yang kecil, baik yang besar. Karena sesudah sekolah, maka guru-guru SI school bisa membela perkumpulan politik atau Vakvereeniging, ilmu-ilmu mana di SI school sudah diteori dan dipraktekan.
Berapa perlunya onderwijs di Hindia ini tiadalah berguna dibicarakan lagi. Berapa banyaknya kota-kota yang bisa kita rebut sekolahnya sudah terang, bahwa Gouvernement tidak akan bisa dalam 10 tahun ini memberi pengajaran pada 50 % anak-anak saja (di tanah Jawa saja baru kira-kira 2 % orang keluaran sekolah Gouvernement) karena memangnya tidak ada orang, kalau buat ornderwijs, sebab sudah banyak termakan oleh lasykar darat dan laut. Pemerintah sekarang asyik membicarakan dan meneruskan perkara armada laut, yang akan memakai ongkos kira-kira f 220.000.000,- Apalagi leerplicht (paksaan memasukan tiap-tiap anak ke sekolah), tentulah masih bertambah mustahil (jauh) lagi.
Buat kita SI yang memihak pada Rakyat masih besar pasar yang bisa direbut. Makin lekas kita bergerak, dan bersiaplah murid dan sekolah, makin lekas sampai maksud. Kalau kita kaum Rakyat kerja keras semacam ini, tentu dalam 10 atau 15 tahun sudah bisa memakan hasilnya pekerjaan kita. Sudah bisa beribu kaum yang tepelajar, yang pandai mengerti dan memihak dengan pikiran dan nyawanya pada Rakyat.
Peraturan onderwijs semacam ini tidak mimpi saja, tetapi bisa menjadi, ya, dan mesti menjadinya. Berulang-ulang sudah diterangkan, bahwa dari pemuda-pemuda keluaran sekolah Gouvernement tidak boleh kita mengharapkan besar pertolongan buat pergerakan Rakyat. Seperti sudah diterangkan di atas, anak-anak yang sebagian besar keluaran kweekschool SI bisa dapat pekerjaan di golongan SI (lain dari pada sekolah tentu vak-vak vereeniging akan suka mengambil anak-anak keluaran SI kita).
Anak-anak keluaran SI school, yang mau meneruskan pengajaran pada ambachtschool Gouvernement dan sebagainya, tentu dari pihak kita tak akan dapat halangan. Melainkan kita akan menjaga, supaya ia sanggup membuat examen (ujian). Sekarangpun rupanya sudah ada satu dua anak-anak yang baru-baru ini tidak diterima di HIS lantaran mana ia lari dari SI school kita, tetapi belum lama ini diterima di HIS tadi. Jadi rupanya pintu HIS Gouvernement, tidak ditutup buat anak-anak SI school.
Sebaliknya, kita tak perlu takut, bahwa skolah SI kita akan jadi kosong. Anak-anak keluaran kelas II berumur 12 - 13, yakni bibit kita sejati, tidak akan bisa diterima oleh Gouvernement. Lagi pula tiap-tiap minggu Kromo membawa anaknya pada kita, dan tiap-tiap minggu anak-anak minta keluar dari partikulir 1-1, dan masuk pada sekolah kita. Katanya sebab pelajaran baik, bayaran lebih murah dan buat anak-anak ada bermacam-macam permainan dan perkumpulan. Kebenaran itu boleh kita buktikan, dengan keterangan, bahwa ada murid kita yang dari Cepu, dari Sragen (Solo), dari Jawa Barat dan lain-lain. Diantaranya ada yang minta keluar dari HIS Gouvernement.
Pendek kata, dalam berlomba mencari pasar, yakni merebut mendidik sekalian anak Kromo, SI tak perlu khawatir. Makin besar dan banyak sekolah-sekolah kita dirikan, makin lekas kita sampai di padang kemajuan. Kalau onderbouw (sekolah rendah) sudah cukup, maka niscaya kita dengan pertolongan SI bisa mendirikan middenbouw (sekolah tengah). Kalau sudah ada umpamanya 6 sekolah rendah, dan sekolah-sekolah itu diatur dari central, maka tiadalah akan susah bagi tiap-tiap sekolah mengadakan fonds (dana) kira-kira f 100 sebulan, sehingga sesudah 5 tahun saja sudah bisa ada uang kira-kira f 40.000,- Dengan derma dan l.l uang itu boleh ditambah-tambah. Sesudah 5 atau 6 tahun SI school berdiri, yaitu sesudah kira-kira ada anak-anak yang mesti keluar, maka anak-anak itu boleh meneruskan pengajarannya di sekolah tengah SI ambachtsschool umpamanya.
Peraturan batin ambachtsschool itu kita mesti pegang sendiri (buku-buku baca, ilmu bumi, babad, dan sebagainya). Hanya perkara bertukang atau tehnik kita serahkan pada guru-guru yang biasa. Guru ini mudah saja didapat. Di negeri Jepang, Swedia, atau Swiss ribuan orang yang pandai dan mau meninggalkan engeri, kalau ada penghidupan yang sempurna di negeri lain. Juga di Hindia ini lambat launnya akan timbul pemuda-pemuda yang rela memihak pada kita. Ringkasnya perkara guru itu (tehnik) kita tak perlu sekejappun cemas, asal ada uang di Kas.
Pun buat anak-anak keluaran ambachtsschool atau sekolah tengah lain-lain itu, adalah akan mudah juga jalan penghidupan, asal didikannya kerakyatan. Asal masih ada Rakyat dan pergerakan di Hindia ini, maka bagi pemuda-pemuda itu akan cukup pekerjaan. Bersambung dengan Rakyat dia akan bisa memimpin Koperasi dalam pertukangan umpamanya. Lagipun di tempat lain-lain tentu ia bisa dapat kerja, asal pintar dan rajin saja.
Demikianlah ringkasnya saja maksud kita tentangan onderwijs buat Rakyat. Barangkali reaksi dan musuh kita tak akan kurang terus memfitnah dan menghalang-halangi daya upaya kita. Nyata sudah, bahwa dari pihak pemerintah kita tidak akan mendapat bantuan. Jangankan bantuan, tetapi kemerdekaan pun tidak kita peroleh, yakni kemerdekaan sepeti pada tiap-tiap orang atau vereeniging (partikulier dan zending) buat mendirikan sekolah yang cocok dengan haluan masing-masing.
Seperti Muhammadiyah, zending dan lain-lain di Hindia ini dapat kepercayaan dan bantuan lahir dan batin dari pihak pemerintah. Pada bulan Agustus tahun ini pemerintah sudah membenarkan statusnya “Vereeniging buat mendirikan dan menguruskan sekolah-sekolah Kristen untuk uitgebreid Lager, Middelbaar dan Vakonderwijs-nya di Jawa Tengah”. Dasar onderwijs-nya disebutkan Gods-Woord = Firman Tuhan, yakni Tuhannya kaum Kristen. Memang sudah lama di Hindia ini zending bergerak (Minahaasa, Batak, Ambon, Jawa). Memang sudah banyak di Hindia ini kaum Kristen, lebih-lebih dalam bala tentara (Ambon, Manado).
Meskipun di Hindia ini tinggal plm. 50 juta kaum Muslimin, tetapi pemerintah tiada menaruh keberatan atas propaganda-nya kaum Kristen, yang dalam babad sering berperang-perangan dengan kaum Muslimin. Kita orang perjuangan tentu tidak akan mengurangkan satu agama terhadap kepada agama lain – Cuma kita campur meminta kemerdekaan seluas-luasnya, buat onderwijs, yang sepanjang keyakinan kita cocok dengan keperluan Rakyat, yang melarat, Onderwijs mana juga oleh SI Semarang sudah di akui sah.
Tetapi seperti sudah disebutkan lebih dahulu, kita sudah dapat halangan keras, ketika SI mau mengadakan pasar derma, untuk memperbaiki sekolah saja. Juga baru-baru ini dilarang anak-anak mencari derma di desa-desa dengan menyanyi international. Karena kita tidak mendapat subsidi, maka derma itulah saja jalan buat kita, untuk meneruskan daya upaya. Sehingga kalau derma itu dihalang-halangi, maka sama artinya dengan menghalang-halangi sekolah Serikat Islam.
Pendeknya, sekolah kita ada bisa segenap waktu dapat ancaman atau bahaya.
Terus atau tidak kita semata-mata bergantung pada SI. Kalau SI sama sekali mau mempertahankan bibit yang sudah kita tanam itu seperti SI Semarang (Bandung, Sukabumi, dll juga akan mau) maka halangan tentu semuanya terhindar. Sesudah tentu maksud kita gampang dan lekas sampai.
Buat kita sendiri sudah cukup bukti yang menerangkan, bahwa peraturan SI school Semarang, sudah dimufakati oleh beribu-ribu kaum SI. Hal ini mengeraskan keyakinan kita, bahwa jalan dan haluan kita lurus dan sah. Apa kehendak dan perbuatan kaum sama, kita tunggu dengan hati tetap. Ikhtiar kita, yaitu hendak menarik hati SI terhadap kepada didikan kita, sudahlah cukup hasilnya.
Kepercayaan Rakyat yang sudah diperoleh itu bagi kita laksanakan sesuatu wet yang kita akui sah dan terkuasa; kepercayaan itulah saja yang menumpu (mendorong) kita dari belakang untuk berjalan terus, dengan tiada menoleh kiri kanan.
DAFTAR ARTI KATA-KATA ASING DALAM KARYA TAN MALAKA “SI SEMARANG dan ONDERWIJS”
- Onderwijs = Pengajaran, pendidikan, atau perguruan.
- Lid SI = Anggota Sarekat Islam.
- SI School = Sekolah atau Perguruan SI.
- Surabayasch Hendelsblad = Harian perdagangan Belanda yag terbit di Surabaya.
- Vergadering SI = Rapat atau pertemua SI.
- Destuur = Pimpinan / pengurus.
- Peraturan Onderbouw (sekolah dasar) = Tingkat bawah / dasar.
- Sekolah particulier = sekolah swasta.
- Hawa (geest) di Sekolah SI = lebih tepat : jiwa di sekolah SI.
- HIS Gouvernement = Hollands Indlandse School Governement = sekolah dasar pemerintah (khusus untuk pribumi anak pegawai negeri tingkat menengah ke atas).
- Vereeniging = perkumpulan, persatuan.
- Sifat-sifat yang kuno = lebih tepat : sifat-sifat yang lama.
- Dalam watku temponya = dalam waktu istirahat.
- Kweekschool = sekolah pendidikan guru (untuk sekolah dasar).
- Sekolah kelas II = sekolah ongko loro, sekolah dasar untuk anak pribumi golongan rendahan.
- Babad onderwijs = sejarah pendidikan.
- Kencang otak = berotak cerdas.
- Rusland = Rusia.
- Vak-vak berhitung, dll = mata pelajaran berhitung dll.
- Boycot = Boikot.
- Reglement = Reglemen, peraturan.
- Sifat yang batin-batin itu = Sifat kejiwaan itu.
- Bibliotheek = Perpustakaan.
- Voetbal Club = Perkumpulan sepak bola.
- Gromopon = Gramopon, pesawat pemutar piringan hitam.
- Bangku, bord, dsb = Bangku, papan tulis, dsb.
- Cukup aanleg dalam pertukangan = Cukup berbakat dalam pertukangan
- Bisa menggenggam vergadering = bisa menguasai pertemuan / rapat.
- Speker = Pembicara.
- Peraturan Middenbouw (sekolah tengah) peraturan tingkat menengah (sekolah menengah).
- Negeri-negeri lain = Daerah-daerah lain.
- Uitspanning (pauze) = Waktu istirahat (jedah).
- Begrooting = Anggaran.
- Parallelkalassen = Kelas-kelas sejajar, misalnya kelas I a, I b, dsb.
- Vakvereeniging = Serikat sekerja / buruh.
- Lasykar darat dan laut = Angkatan darat dan laut.
- Leerplicht = Wajib belajar.
- Ambachtschool Gouvernement = Sekolah tehnik pemerintah.
- Examen = Ujian.
- Diatur dari Centraal = Diatur dari pusat.
- Fonds = Dana.
- Uitgebreid Lager, Middelbaar dan Vakbonderwijs = pendidikan / pengajaran tingkat rendah, menengah dan kejuruan.
- Wet = Hukum, undang-undang.
- Babad = Sejarah.
- Commite = Panitia.
- Orde = Aturan.
- Pulau Borneo = Kalimantan.
- Ilmu didikan (paedagogie) = Ilmu pendidikan.
1 Tukang-tukang gambar seperti Rembrandt dan Jan Steen di negeri Belanda memang lebih dimuliakan dari pada berpuluh menteri-menteri (minister).
2 Kalau cukup modal segera akan kita ajarkan bertukang pada anak yang besar-besar anak-anak Jawa yang cukup aanleg dalam bertukang dan ukir-mengukir itu akan bisa membikin bangku, meja, kursi dan lain-lain. Maka hasil pekerjaan itu akan dijual oleh murid-murid sendiri. Pendek kata urusan pertukangan dan administrasi akan jatuh ditangan murid-murid. Sama sekali dengan peraturan koperasi. Cita-cita ini sudah menggemparkan SI school dan anak-anak bertanya : “Kapan, kapan dimulai”. Anak-anak bisa hidup merdeka, baik di sekolah, ataupun kelak. Kalau mau menyingsingkan lengan baju, tiadalah kelak perlu mengemis pada dan jadi budaknya kaum modal.
Arsip Tan Malaka | Sejarah Marxisme di Indonesia | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.
Selasa, 04 Januari 2011
MAKALAH "Ketaatan Orang Terhadap Hukum Indonesia yang Sekarat"
MAKALAH
Mata Kuliah : Hukum & Politik
Dosen Pengampu : Dr. Nurul Ahmad,S.H,M.Hum
Ketaatan Orang Terhadap Hukum Indonesia yang Sekarat
Nama : David Bayu Narendra
N.I.M : 8150408041
Jurusan : Ilmu Hukum,S1
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita telah mengenal hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat maksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan peraturan-peraturan yang bersifat emaksa. Peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup.
Selain hukum sebagai suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemikian kuat dan mendalam sehingga dalam perasaan dan percakapan sehari-hari telah berubah menjadi suatu tuntutan hukum yang diakui dan dipertahankan.
Anjuran bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan kepentingan-kepentingan mereka atau kelompoknya dalam bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat dikeluarkan berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu anjuran moral atau rasa susila yang seyogyanya senantiasa ada pada batin mereka.
Kaidah moral atau kesusilaan hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada hak kepada orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang menjadi peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika penguasa tersebut akan memandang moral atau rasa susila tersebut sebagai hak orang lain (dalam hal ini rakyat dan masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya penyelundupan hukum-demi kepentingan mereka yang berkedok hukum formal-dan membuat peraturan-peraturan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, hukum menetapkan kode moral yang lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum, termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa yang memiliki wewenang untuk itu.
Akhirnya, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat sebagai penggabungan moralitas/keadilan sosial, terhadap mana individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi pemerintah harus senantiasa mengorientasikan tingkah lakunya. Karena tuntuan masyarakat dapat sangat berbeda dengan pembuat hukum, maka mereka sebaiknya kita harus menduga bahwa konsepsi-konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam hukum harus merupakan perwujudan moralitas sosial.
Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, “tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan hukum?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.
Ilmu hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.
B. Kerangka Pikir
Benarkah kaidah hukum memperoleh otoritasnya dan oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya, karena:
1) Hanya karena orang-orang yang menciptakannya,
2) karena orang-orang yang mengakuinya sebagai hukum, atau
3) Karena nilai batinnya/nilai keadilannya sendiri?
Dari mana pemerintah/penguasa pada suatu negara memperoleh hak untuk memaksakan pertimbangan-pertimbangan nilainya kepada orang lain sebagai suatu perintah? Secara garis besar, terdapat tiga ajaran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:
1) Raja memperoleh kekuasaannya karena langsung diangkat oleh Tuhan, merupakan kehendak Tuhan (theocratisch atau hukum kodrat),
2) Pemerintah langsung memperoleh kekuasaannya dari kehendak rakyat dan hanya secara tidak langsung dari Tuhan (scholastik pada abad pertengahan),
3) Segala hukum adalah hukum manusia (rasionalisme dari aufklarung abad ke 18).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum di Indonesia sedang sekarat
Masyarakat Indonesia sedang bingung menebak akhir cerita beberapa ”sinetron hukum” yang ditayangkan di negeri ini. Bahkan, beberapa berakhir dengan teka-teki misterius. Bagi segenap anak bangsa, negara hukum lahir karena kerinduan yang mendalam terhadap terwujudnya keadilan. Hukum bukan sekadar alat untuk menciptakan ketertiban, melainkan yang utama adalah untuk menegakkan keadilan.
Sayangnya, jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di negeri ini kian tersaruk-saruk. Hukum bukan semata dipahami secara prosedural legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah tidak lagi dalam pasar gelap bahkan pasar terang. Pembelinya bukan hanya makelar, melainkan juga mafia. Oleh karena itu, yang terjadi di negeri ini bukan hanya tak ada kepastian hukum, melainkan membawa kehancuran hukum, sekarat dan mengantarkan kepada kematian.
Negeri yang memproklamasikan sebagai negara hukum, bersilat di jalan bahasa, memapankan keserakahan, mengerucutkan kekuasaan, membudayakan kemunafikan, menyumbat telinga dengan harta dan martabat, membungkam mulut dengan iming-iming dan ancaman. Asas manfaat seharusnya memberi manfaat kepada sesama menjadi memanfaatkan, mengeksploitasi dengan mengisap tenaga, pikiran, dan harta. Istilah kerennya ”aji mumpung”. Sering dipakai sebagai modus operandi untuk memuluskan segala tujuan.Memuaskan hasrat keduniawian sesaat atas nama pertemanan, teman sejawat, dan hubungan kedinasan. Begitu mengisap dan menguras habis darah rakyat ditinggalkan bagaikan raga tidak bernyawa. Manusia-manusia pengisap ”darah”negeri ini melenggang dengan wajah tanpa dosa yang membuat negeri ini pucat pasi, terseok-seok, bahkan kesulitan untuk sekadar bernapas.
Inilah negeri adiluhung di mana kebenaran ditaklukkan oleh rasa takut dan ambisi. Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan dan kepentingan. Nurani dilumpuhkan oleh nafsu dan angkara. Citra negeri ini memburuk di mata internasional. Sebuah kampanye jelek yang bisa menghancurkan minat investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Hukum kita sedang sekarat. Gempa dan tsunami dalam bidang hukum datang bertubi-tubi.Semacam alarm dari Tuhan untuk orang-orang yang berpikir, hukum kita telah lari dari ilmu Tuhan.
Mari sejenak kita melihat rancangan alam. Tatanan alam berlangsung dalam pola interaksi yang disebut sebagai keteraturan alam semesta. Semua interaksi alam tunduk pada satu suprasistem, yaitu Sang Pencipta Alam Semesta. Ada beberapa contoh ilmu yang mempelajari rancangan di alam dan memecahkan masalah berdasarkan rancangan alam. Menara Eiffel dilihami struktur tulang paha seperti jeruji berbentuk sangkar. Kevlar bahan pembuat baju antipeluru berdasarkan penelitian benang laba-laba yang kekuatannya lima kali baja. Belalang tidak pernah tabrakan karena ada pengindraan listrik di ujungnya sedang ditiru untuk menghindari tabrakan pesawat terbang. Untuk menghindari kebisingan pesawat udara sedang diteliti terbangnya burung hantu yang tidak bersuara. Kalau ilmu lain mengambil pelajaran dari ilmu ciptaan Tuhan mengapa ilmu hukum bersifat sekuler.
Tanggung jawab yuris adalah merohaniahkan hukum. Penilaian scientia yuridis harus mendalam dan mendasar pada conscientia (nilai). Norma-norma etis-religius harus merupakan aspek normatif atau imperatif dari negara hukum. Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila Ketuhanan, tiap ilmu pengetahuan termasuk hukum yang tidak dibarengi ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, Science without religion is lame, religion without science is blind.
Dalam hadis yang sangat populer dalam dunia peradilan, Rasulullah bersabda, ”Para hakim itu digolongkan pada tiga kelompok. Satu kelompok akan masuk surga dan dua kelompok masuk neraka. Mereka yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi curang atau tidak jujur yang menyebabkan tidak adil dalam memberi putusan akan masuk neraka. Hakim yang memutus perkara manusia berdasarkan kebodohannya juga akan masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud). Hadis ini hendaknya memberi inspirasi dan spirit kepada hakim agar bersikap dan bertindak sesuai dengan moralitas dan integritas yang dimiliki.
Tanggung jawab ini bukan hanya secara administratif atau legalistis di dunia, tetapi tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa yang benar-benar esensial di akhirat kelak. Hal ini jelas sekali karena dalam setiap memberi keputusan, hakim harus dengan tegas mengucapkan dan menuliskan ungkapan, ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk mohon keadilan.
Dalam tuntunan agama Islam, perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama Q.S. 42 (Asy-Syura): 15. ”Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan kaum kerabatmu....” Q.S. 4 (An-Nisaa): 135. Surat-surat ini mengandung prinsip tidak pilih kasih (nonfavoritisme dan antinepotisme) dan prinsip tidak berpihak (fairness/impartial).
Dengan kekuasaan apa pun bisa dilakukan, kalau penguasa berperan sebagai juragan, sedangkan para penegak hukum sebagai abdi negara dininabobokan, dengan memberikan fasilitas-fasilitas. Hukum laksana sarang laba-laba hanya mampu menjerat kepada kaum lemah belaka, sementara penguasa dan cukong sangat mudah menjebol sarang tersebut, bahkan tidak perlu karena pintu masuk sudah tertata rapi yang kunci pembukanya ada di saku penguasa.
Orang akan dapat melakukan pemahaman terhadap hukum secara lebih baik manakala ia secara sengaja pula mempelajari penyakit-penyakit hukum. Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap hukum sebuah bangunan atau tatanan logis rasional, yakni membuat rumusan atau definisi-definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan, diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian, hukum hanya benar-benar menjadi wilayah esoterik bagi praktisi hukum. Dengan cara tersebut, hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam realitas sosialnya.
Kemampuan untuk mencari kebenaran membawa kita kepada sikap, yang benar adalah benar yang salah adalah salah. Pemihakan kepada yang benar harus dilakukan agar terhindar dari segala kesusahan akibat kebodohan sendiri.
Merujuk pada mekanisme alam, sebuah bencana sebagaimana bencana dalam dunia hukum adalah media penataan keseimbangan untuk mempersiapkan munculnya generasi hukum baru, sebagaimana meletusnya gunung berapi, badai lautan, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain akan melahirkan generasi alam yang baru. Dalam setiap peristiwa alam terkandung peringatan agar manusia bersungguh-sungguh berpikir dan kembali kepada ilmu Tuhan.
B. Ketaatan Orang terhadap Hukum yang Sekarat
Pada abad ke 19, ajaran theocratisch masih terus hidup dalam berbagai corak dan bentuk, namun ajaran tersebut tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam pemberian sanksi-sanksi tertentu kepada masyarakat dalam pelanggaran terhadap hukum. Hal ini disebabkan, pada abad tersebut pemerintah tidak lagi merupakan penjelmaan agama dan tak mengakui kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Pembela ajaran ini di abad 19 adalah Julius Stahl (1802-1861): “Negara adalah badan yang diberikan kuasa penuh oleh Tuhan, akan tetapi yang diberikan wewenang penuh bukanlah aparatur pemerintahan, akan tetapi negara sendiri sebagai badan”. Hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari ordonansi ketuhanan yang merupakan dasar suatu negara. Meskipun hukum merupakan buatan manusia, namun ia digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan.
Teori perjanjian mendalilkan ajarannya bahwa sumber kekuasaan pemerintah berada pada kehendak manusia/warganegara sendiri. Warganegara wajib taat kepada pemerintahan dan hukum, karena dengan tegas atau dengan diam-diam mereka dengan keinginan dan kesadaran sendiri secara penuh telah membuat perjanjian seperti itu. Ajaran ini diperkenalkan dan dipraktekkan melalui berbagai cara pertama kali pada zaman Yunani oleh kaum sophist dan epicurust.
Dalam abad pertengahan, pikiran seperti itu semakin meluas meskipun tidak dapat dilaksanakan secara penuh, oleh karena bertentangan dengan pandangan keagamaan pada saat itu. Sehingga pikiran baru tersebut dilakukan dalam bentuk lama: Tuhan memberi rakyat kewenangan untuk membentuk pemerintah, dan rakyatpun mempergunakan kewenangan itu dengan menyerahkannya kepada raja atas dasar suatu perjanjian. Oleh kaum monarchomachen pada abad XVI ajaran tersebut digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap “hak suci memberontak” terhadap raja-raja lalim, yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Pada abad ke XVII terjadinya negara dan tata hukum didasarkan atas perjanjian, yang tidak semata-mata merupakan perjanjian yang dilakukan oleh rakyat dan raja (perjanjian penaklukan), tetapi adalah sesuatu perjanjian yang diadakan oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk mendirikan negara dan tata hukum (perjanjian masyarakat). Ajaran ini menjadi sangat terkenal ketika Rosseau memperkenalkannya dengan nama contract social. Ajaran ini pada saat sekarang sudah tidak lagi banyak dianut, oleh karena pada teori ini disana-sini ditemukan kelemahan-kelemahan, salah satunya adalah: janji hanyalah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan menggantungkan kewajiban seseorang kepada kehendak suatu janji bukankah itu berarti menghapuskan segala kewajiban. Kemudian, bagaimana hukum dapat memperoleh kekuatan mengikat dari suatu kontrak yang agar dapat mengikat mengandaikan adanya hukum?
Ajaran kedaulatan negara muncul pada abad ke XIX, abad ilmu alam, yang mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum adalah kehendak negara dan mendasarkan adanya kekuasaan negara pada sesuatu hukum kodrat (yang lebih kuat menguasai yang lebih lemah). Oleh karena daya hukum itulah maka terjadi negara yang bukan buatan manusia melainkan hasil alam.
Melakukan kekuasaan pemerintahan bukan melakukan sesuatu hak yang meminta pembenaran, kekuasaan pemerintahan adalah suatu kenyataan yang dapat diterangkan dengan jalan ilmu pengetahuan dari jalannya hukum kodrat, yang diperoleh dengan cara melihat kenyataan empiris. Sementara itu, pada tingkat terakhir dari ajaran kedaulatan negara, juga memberi kemungkinan menunjuk kepada kehendak Tuhan sebagai yang mengadakan hukum kodrat itu. Yang meletakkan dasar teori ini adalah seorang swiss, Karl Ludwig von Haller.
Ajaran hukum “reine rechtslehre/normatif rechtsleer” dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ajaran hukum dari segala anasir yang bukan yuridis (politik, kesusilaan, sosiologi). Negara bukan merupakan dunia sein (undang-undang kausal) tetapi dunia sollen (undang-undang normatif). Dipandang dari sudut yuridis, negara adalah tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah sama, negara adalah penjelmaan dari hukum.
Menurut Kelsen adalah tidak benar menjawab pertanyaan tentang alasan berlakunya hukum (sesuatu sollen) dengan sein. Saya seharusnya bertindak demikian, bukan karena Tuhan menghendakinya, melainkan karena saya seharusnya mengikuti perintah Tuhan. Itu adalah dasar terakhir yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut untuk “sollen” yang bersifat agama. Dasar berlakunya suatu kaidah hanya dapat diketemukan dalam kaidah yang lain. Kaidah yang ditentukan dengan keputusan hakim, memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang yang lebih tinggi dan kaidah undang-undang memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang dasar yang lebih tinggi. Kaidah yang lebih tinggi dari undang-undang dasar tidak ada.
Dengan demikian, terpaksa kita menerima undang-undang dasar sebagai dasar berlakunya dari seluruh hukum positif, sesuatu kaidah dasar/ursprungsnorm tetapi sesuatu kaidah yang tidak boleh dipandang sebagai kaidah-kaidah dasar yang mempunyai isi, sesuatu kaidah dari mana orang dapat mencari isi hukum, ursprungsnorm yang bersifat hipotetis hanya hendak menyatakan kesatuan formil dari seluruh sistem hukum, yang menyulap kenyataan bahwa orang-orang pemerintahan meletakan pertimbangan-pertimbangan nilai mereka sebagai peraturan yang mengikat, menjadi hukum, sehingga dengan demikian menyulap “seinskategorie” menjadi sesuatu yang menurut Kelsen merupakan kebalikannya yaitu kategori sollen.
Teori kedaulatan hukum dikemukakan oleh H. Krabbe, mengatakan bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak orang-orang tertentu yaitu orang-orang pemerintahan, orang-orang hidup di bawah kekuasaan undang-undang yang terbentuk melalui perwakilan rakyat. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat.
Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Ajaran kedaulatan hukum pada asasnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Yang terutama bukanlah negara, pemerintahan, melainkan yang terutama adalah hukum.
Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintahan, melainkan pemerintahan hanya memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya. Dijawab oleh Krabbe, bahwa hukum berpangkal pada perasaan hukum dan hanya memperoleh kekuasaan dari persesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Tetapi timbul kesulitan: sesuatu kaidah hukum yang berpangkal pada perasaan-perasaan hukum individu hanya menguasai kehendak individu itu sendiri. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus menguasai kehendak individu itu sendiri yang bersandar pada keyakinan hukum bersama. Akan tetapi unanimitas keyakinan hukum adalah sesuatu yang jarang didapatkan.
Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat. Itu adalah conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarkat. Oleh karenanya maka keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah itu, sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai yang tertinggi kepada kesatuan kaidah tersebut, jika perlu dengan mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih kita sukai.
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia meniadakan kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut. Undang-undang seperti ini, yang tidak mengikat masyarakat dan seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan orang-orang pemerintahan lainnya.
Menurut Van Apeldoorn, maka dengan menarik konsekuensi yang sedemikian jauhnya terhadap ajarannya itu, Krabbe telah melakukan ad absurdum. Bagaimana dengan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasih kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan, bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan UUD) dalam melakukan tugasnya, jika menurut pertimbangan mereka undang-undang (termasuk UUD) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak, padalah hal tersebut adalah hal yang merupakan sesuatu yang tidak tentu dan tidak dapat ditentukan.
Kelemahan Krabbe tersebut terungkap, oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum, sehingga dengan kekonsekuenan Krabbe dalam implementasi teorinya, dipastikan menyebabkan terjadinya penghapusan seluruh hukum, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Menurut Van Apeldoorn, jika suatu tatanan masyarakat hendak merupakan lebih daripada tatanan kekuasaan belaka, maka ia juga harus merupakan tatanan hukum, harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil, karena disitulah letaknya otoritas hukum. Pada hakekatnya, sesuatu hukum kebiasaan yang timbul langsung dari masyarakat itulah yang terbanyak memenuhi tuntutan tersebut. Dengan varian atas ucapan ahli hukum Romawi Paulus, dapatlah kita katakan optima iuris interpres consuetudo (penjelmaan hukum yang terbaik adalah kebiasaan).
BAB III
PENUTUP
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan dewan perwakilan rakyat dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan sebagian besar tidak lain merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dan karena itu hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokoknya tergores dalam kesadaran rakyat.
Keyakinan yang berakal dari sesuatu bangsa bahwa harus ada tata tertib, sehingga harus ada hukum yang pada umumnya berisi pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat, menyebabkan bahwa keyakinan rakyat memberikan otoritas yang mengikat dari undang-undang, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat.
Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu sebagai tatanan otoritas.